Translate

Sabtu, 17 September 2011

Bahasa dan Kesantunan


BAHASA DAN KESANTUNAN

Tujuan Khusus Pembelajaran
(a).  Peserta dapat menjelaskan pendekatan formalisme dalam pengkajian bahasa.
(b). Peserta dapat menjelaskan pendekatan fuungsionalisme dalam pengkajian bahasa.
(c). Peserta dapat menjelaskan  “nosi muka” dalam teori kesantunan berbahasa.
(d). Peserta dapat menjelaskan kesantunan negatif dan kesantunan positif
Kajian terhadap Bahasa
Bahasa dapat ditelaah dengan mengkaji bentuk dan substansinya sebagaimana tampak telah mendominasi kajian-kajian Linguistik di Indonesia dewasa ini. Alternatif lain adalah dengan mengkaji bahasa dari sudut pandang fungsi. Dengan pendekatan fungsi itu yang dikaji bukanlah fonologi, morfologi, sintaksis atau semantik suatu bahasa semata-mata, melainkan peranan-peranan yang dilakukan oleh komunikasi bahasa di dalam konteks sosial. Jika pendekatan dan aliran yang menekankan bentuk disebut formalisme dalam linguistik, maka pendekatan yang menekankan fungsi dapat disebut fungsionalisme. Menurut Leech (1980), ada perbedaan di antara keduanya, di antaranya adalah sebagai berikut. Bagi penganut formalisme, bahasan linguistik adalah apa yang diketahui oleh penutur/pendengar; bagi penganut fungsionalisme bahasan linguistik adalah apa yang dapat dilakukan oleh penutur dengan menggunakan bahasa. Bagi penganut formalisme, jawaban atas pertanyaan mengapa bahasa-bahasa di dunia ini mempunyai kesamaan-kesamaan tertentu ialah karena bahasa adalah anugerah biologis yang dimiliki bersama oleh manusia. Bagi penganut fungsionalisme, hal itu karena kebudayaan manusia mempunyai kesamaan-kesamaan tertentu di dalam hal kebutuhan komunikasi. Bagi penganut formalisme, anak belajar bahasa pertamanya dengan menggunakan kemampuan linguistiknya sebagai piranti pemerolehan bahasa; bagi penganut fungsionalisme, anak belajar bahasa dengan belajar berinteraksi dengan manusia yang lain di dalam situasi yang menuntut penggunaan bahasa.
Searle termasuk penganut fungsionalisme karena ia menelaah bahasa, tepatnya tindak ujaran (speech acts) dari sudut pandang fungsinya. Berdasarkan fungsi itu, Searle membagi tindak ilokusioner secara makro menjadi lima, yaitu representatif, komisif, ekspresif, deklaratif, dan direktif. Jenis tindak ujaran direktif itu adalah jenis tindak ujaran yang dilakukan oleh penutur untuk membuat pendengarnya melakukan sesuatu. Direktif itu dapat langsung, yaitu dengan menggunakan kalimat bermodus imperatif, dan dapat pula tidak langsung, yaitu dengan menggunakan kalimat bermodus bukan imperatif. Seaele menelaah ilokusi tak langsung itu dalam kaitannya dengan kesantunan berbahasa, tetapi tidak berteori.
Ahli yang mengaitkan kedua hal di atas dan berteori adalah Brown dan Levinson (1978) dan Leech (1983). Teori kesantunan Brown dan Levinson dan teori kesantunan Leech mempunyai pangkal tolak yang sama; keduanya menjawab pertanyaan mengapa "Prinsip Kerja Sama" Grice (yang meliputi maksim-maksim kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara) di dalam komunikasi yang nyata atau sebenarnya sering didengar dilanggar orang.

Teori Kesantunan
     Secara ringkas, teori kesantunan berbahasa menurut Brown dan Levinson (1978) berkisar atas nosi muka (face). Semua orang yang rasional punya muka (dalam arti kiasan, tentunya) dan muka itu harus dijaga, dipelihara, dihormati, dan sebagainya. Menurut Brown dan Levinson, nosi muka terdiri atas muka negatif dan muka positif. Muka negatif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Jika tindak ujarannya adalah sebuah direktif (misalnya perintah atau permintaan), yang terancan adalah muka negatif. Hal itu karena dengan dengan memerintah atau meminta seseorang melakukan sesuatu, kita sebenarnya menghalangi kebebasannya untuk melakukan tindakannya.
Muka positif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional), yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini (sebagai akibat dari apa yang dilakukan atai dimilikinya itu) diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, dan seterusnya. Tindak ujaran mengkritik dapat mengancam muka positif seseorang karena dengan mengkritik sebenarnya kita tidak mengakui atau tidak menghargai apa yang dilakukan orang yang kita kritik itu sebagai sesuatu yang baik, yang benar, yang patut dihargai, dan sebagainya.
Tindak ujaran dapat merupakan ancaman terhadap muka. Tindak ujaran seperti itu oleh Brown dan Levinson disebut sebagai Face-Threatening Act (FTA). Untuk mengurangi kekerasan ancaman itulah di dalam berkomunikasi kita tidak selalu mematuhi maksim-maksim Grice, dan kita jadi perlu menggunakan sopan santun bahasa. Karena ada dua sisi muka yang terancam, yaitu muka negatif dan muka positif, kesantunan pun dibagi menjadi dua: kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesantunan positif (untuk menjaga muka postitif). Sopan-santun dalam penggunaan direktif termasuk ke dalam kesantunan negatif itu, yang dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk menghindarkan konflik penutur-pendengar.
Menurut Brown dan Levinson, karena adanya ancaman tindak ujaran terhadap muka itu, penutur perlu memilih strategi untuk (jika perlu) mengurangi atau menghilangkan ancaman itu. Pilihan-pilihan itu ialah: (1) melakukan tindak ujaran secara "apa adanya", tanpa basa-basi, dengan mematuhi prinsip Grice atau menurut istilah Brown dan Levinson, secara bald on record; (2) melakukan tindak ujaran dengan menggunakan kesantunan positif; (3) melakukan tindak ujaran dengan menggunakan kesantunan negatif; (4) melakukan tindak ujaran secara off record; atau (5) tidak melakukan tindak ujaran (diam saja).
Ahli yang lain, Leech (1983) mengemukakan teori kesantunannya berdasarkan Prinsip Kesantunan (Politeness Principle), yang ia jabarkan menjadi enam maksim: (1) Timbang Rasa (Tact), (2) Kemurah-hatian (Generosity), (3) Pujian (Approbation), (4) Kerendah-hatian ((Modesty), (5) Kesetujuan (Agreement), dan (6) Simpati (Sympathy. Leech, dalam teorinya, tidak menggunakan istilah penutur (speaker) dan pendengar (hearer), melainkan diri (self) dan pihak lain (other). Diri mengacu ke penutur, pihak lain mengacu ke pendengar dan juga ke orang lain, baik yang berada di situasi tutur maupun yang tidak. Dengan demikian, teori kesantunan berbahasa model Leech mempunyai sedikit kelebihan daripada model Brown dan Levinson. Model Brown dan Levinson hanya dapat menerangkan kesantunan berbahasa dalam interaksi bersemuka, sedangkan model Leech dapat menerangkan kesantunan berbahasa tidak hanya dalam interaksi bersemuka, tetapi juga dalam situasi yang tidak bersemuka.
Leech mendasarkan teorinya pada nosi-nosi (1) biaya (cost) dan keuntungan (benefit), (2) celaan atau penjelekan (dispraise) dan pujian (praise), (3) kesetujuan (agreement), dan (4) simpati/antipati. Berdasarkan hal-hal ini serta berdasarkan pengertian diri (D) dan pihak lain (PL) di atas, penjelasan tentang maksim-maksim kesantunan Leech itu adalah sebagai berikut:

1. Maksim Timbang Rasa
(a) Minimalkan biaya kepada PL
(b) Maksimalkan keuntungan kepada PL
2. Maksim Kemurah-hatian
(a) Minimalkan keuntungan kepada D
(b) Maksimalkan keuntungan kepada PL
3. Maksim Pujian
(a) Minimalkan penjelekan terhadap PL
(b) Maksimalkan pujian kepada PL
4. Maksim Kerendah-hatian
(a) Minimalkan pujian kepada D
(b) Maksimalkan penjelekan kepada PL
5. Maksim Kesetujuan
(a) Minimalkan ketidaksetujuan antara D dan PL
(b) Maksimalkan kesetujuan antara D dan PL
6. Maksim Simpati
(a) Minimalkan antipati antara D dan PL
(b) Maksimalkan simpati antara D dan PL
Dari keenam maksim di atas, yang berkaitan dengan penggunaan direktif (yang oleh Leech disebut impositif) adalah Maksim Timbang Rasa (MTR) dan Maksim Kemurah-hatian (MKH). Menurut Leech (1983:123) ada tiga skala yang perlu dipertimbangkan untuk "menilai" derajat pematuhan penutur kepada MTR itu. Ketiga skala itu, yang kesemuanya terangkum ke dalam skala pragmatik, adalah skala biaya-keuntungan, skala keopsionlan, dan skala ketaklangsungan. Di dalam hal ini, kesantunan berbahasa ( dari yang paling kurang santun sampai yang paling santun) adalah fungsi (dalam pengertian perhitungan diferensial-integral) dari ketiga skala tersebut.
Skala biaya-keuntungan ("untung-rugi") dipakai untuk "menghitung" biaya dan keuntungan untuk melakukan tindakan (seperti yang ditunjuk oleh daya ilokusioner tindak tutur) dalam kaitannya dengan penutur dan pendengar. Skala keopsionalan dipakai untuk "menghitung" berapa penutur memberi pendengar pilihan dalam melaksanakan tindakan (seperti yang ditunjukkan oleh daya ilokusioner tindak ujaran). Makin besar jumlah pilihan, makin santunlah tindak ujarannya. Skala ketaklangsungan dipakai untuk "mengukur" ketaklangsungan tindak ujaran: seberapa panjang jarak yang "ditempuh" oleh daya ilokusioner sampai ia tiba di tujuan ilokusioner. Tilikan yang dapat kita ambil dari uraian Leech mengenai kesantuan direktif di atas adalah bahwa bentuk ujaran direktif yang paling santun adalah yang paling tinggi pada ketiga skala itu.